Beranda | Artikel
Keutamaan Amalan Sunnah
Kamis, 1 April 2021

EDISI 1731

– Ibadah sunnah tidak selayaknya disepelekan oleh seorang muslim. Ada beberapa keutamaan yang besar, di antaranya:

1) Menyempurnakan kekurangan dalam pelaksanaan ibadah wajib.


2) Mendatangkan cinta dari Allah, sehingga menjadi wali pilihan-Nya. Ada 2 tingkatannya:

  1. a) Pertengahan (al muqtashidun). Melaksanakan yang wajib, meninggalkan yang haram, terkadang melakukan yang makruh atau meninggalkan yang sunnah.
  2. b) Bersegera dalam kebaikan dan dekat dengan Allah (As saabiquun al muqarrabun). Melaksanakan yang wajib, meninggalkan yang haram, senantiasa berusaha mengerjakan yang sunnah dan meninggalkan yang makruh.

3) Menjaga kebiasaan melaksanakan ibadah yang wajib.

– Mengikuti tuntunan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (sunnah) lebih utama daripada memperbanyak amal. Semisal, berpuasa Daud (puasa 1 hari, tidak puasa 1 hari) lebih utama dari puasa Dahr (setiap hari).

 

Dialah (Allah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya...” (Q.S. Al-Mulk: 2).

<<<>>>


Ibadah sunnah memiliki keutamaan yang sangat besar, sehingga tidak selayaknya seorang muslim bermudah-mudahan untuk meninggalkannya. Berikut ini beberapa keutamaan ibadah sunnah dalam syariat.

Menyempurnakan kekurangan dalam pelaksanaan ibadah wajib

Tidak bisa kita pungkiri bahwa dalam pelaksanaan ibadah wajib, kita masih memiliki banyak kekurangan. Shalat wajib kita mungkin kurang khusyu’, atau puasa Ramadhan kita kurang sempurna. Di sinilah fungsi ibadah sunnah, yaitu menyempurnakan atau menambal kekurangan yang terdapat dalam ibadah wajib.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi,

Sesungguhnya perkara yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat dari amal seorang hamba adalah shalat. Jika shalatnya baik, maka sungguh dia beruntung dan selamat. Jika shalatnya buruk, maka sungguh dia celaka dan rugi. Jika terdapat suatu kekurangan pada shalat wajibnya, Allah Ta’ala berfirman, ‘Periksalah, apakah hamba-Ku memiliki ibadah sunnah yang bisa menyempurnakan ibadah wajibnya yang kurang?’. Lalu setiap amal akan diperlakukan sama seperti itu.” (H.R. Tirmidzi no. 413, An-Nasa’i no. 466, shahih).

Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad dengan lafazh,

Allah Ta’ala berfirman, “Periksalah, apakah hamba-Ku memiliki ibadah sunnah?” Jika seorang hamba memiliki amal ibadah sunnah, Allah Ta’ala berfirman, ‘Sempurnakanlah ibadah wajibnya dengan ibadah sunnahnya’. Lalu setiap amal akan diperlakukan sama seperti itu.” (H.R. Ahmad no. 9494).

Mendatangkan kecintaan dari Allah, sehingga menjadi wali atau kekasih-Nya yang pilihan

Seorang hamba yang ingin menjadi kekasih pilihan Allah, hendaklah dia mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah sunnah, di samping melaksanakan ibadah yang bersifat wajib. Hal ini sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wali Allah,

Allah Ta’ala berfirman, ‘Siapa saja yang memusuhi wali-Ku, maka aku mengumumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dibandingkan amal yang Aku wajibkan kepadanya. Dan tidaklah hamba-Ku terus-menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal sunnah, sampai Aku mencintainya. Jika Aku sudah mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang dia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatan yang dia gunakan untuk melihat; menjadi tangan yang dia gunakan untuk memegang; dan menjadi kaki yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, sungguh akan Aku beri. Jika dia meminta perlindungan kepada-Ku, sungguh akan Aku lindungi’.” (H.R. Bukhari).

Berdasarkan hadits di atas, terdapat dua tingkatan wali atau kekasih Allah Ta’ala,

Tingkatan pertama, yaitu al-muqtashiduun (pertengahan) atau ash-haabul yamiin (golongan kanan). Mereka bersikap sederhana (pertengahan) dalam amal, yaitu dengan melaksanakan yang wajib dan meninggalkan yang haram, namun terkadang mengerjakan yang makruh dan meninggalkan amal sunnah.

Tingkatan ke dua, yaitu as-saabiquun al-muqarrabuun (orang yang bersegera dalam kebaikan dan sangat dekat dengan Allah Ta’ala)Mereka berlomba-lomba dan bersegera berbuat kebaikan, yaitu dengan melaksanakan yang wajib, meninggalkan yang haram, senantiasa berusaha mengerjakan amal sunnah, dan juga meninggalkan perkara makruh. Inilah derajat atau tingkatan kewalian yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkatan pertama. 

Mengikuti Sunnah Lebih Utama daripada Memperbanyak Amal
Di antara kaidah yang mungkin tidak banyak diketahui oleh kaum muslimin adalah kaidah, “Mengikuti sunnah itu lebih utama daripada memperbanyak amal”.

Kaidah ini diambil dari firman Allah Ta’ala (yang artinya),

Dialah (Allah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kaliansiapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S. Al-Mulk: 2).

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala tidak mengatakan, “siapa di antara kalian yang lebih banyak amalnya”.

Tentang ayat di atas, Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata,

(Yaitu amal) yang paling ikhlas dan paling benar”. Beliau rahimahullah menjelaskan, “Sesungguhnya apabila suatu amalan sudah dilakukan dengan ikhlas, namun tidak benar, maka amalan tersebut tidak diterima. Dan apabila amalan tersebut sudah benar, namun tidak ikhlas, maka amalan tersebut juga tidak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan benar. Ikhlas jika ditujukan kepada Allah Ta’ala, dan benar jika sesuai dengan sunnah (tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, 1: 72).

Penerapan Kaidah

Berikut ini beberapa contoh penerapan dari kaidah di atas.

Pertama, salat sunnah sebelum subuh (qabliyah subuh) dianjurkan untuk dikerjakan dengan ringkas, tidak berlama-lama. Ada orang yang ingin memperpanjang bacaan Alquran, misalnya dengan membaca surat Al-Ma’aarij dan surat Al-Insaan, memperlama rukuk dan sujud, dan memperbanyak doa ketika sujud. Sedangkan orang kedua, melaksanakan salat tersebut dengan ringkas, di rakaat pertama membaca surat pendek Al-Kafirun dan rakaat ke dua membaca surat Al-Ikhlas.

Berdasarkan kaidah di atas, yang lebih utama adalah salat sunah qobliyah Subuh sebagaimana yang dikerjakan oleh orang kedua. Karena tata cara tersebut lebih sesuai dengan contoh atau praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua, ada seseorang yang ingin berpuasa setiap hari (puasa dahr). Sedangkan orang kedua, dia ingin berpuasa sehari, dan tidak bepuasa sehari (puasa Dawud). Maka orang kedua lebih utama, meskipun amalnya lebih sedikit karena lebih sesuai dengan sunnah.

Hal ini karena puasa setiap hari diperselisihkan hukumnya oleh para ulama, apakah makruh ataukah tidak. Sedangkan puasa Dawud tanpa ada perselisihan adalah puasa yang dianjurkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Dawud, yaitu berpuasa sehari dan berbuka sehari.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Ketiga, seseorang melaksanakan salat di belakang maqom Ibrahim setelah thawaf dengan memperpanjang bacaan, memperpanjang rukuk dan sujud. Sedangkan orang kedua salat di belakang maqom dengan membaca surat Al-Kafirun di rakaat pertama dan surat Al-Ikhlas di rakaat kedua dan melaksanakan dengan ringkas. Maka yang lebih utama adalah salat orang kedua.

Oleh karena itu, hendaknya semua ibadah yang kita lakukan dibangun di atas ilmu, sehingga dapat sesuai (cocok) dengan sunnah (tuntunan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan hanya dibangun atas dasar semangat semata yang tidak dilandasi ilmu yang benar.

Menjaga amal ibadah wajib dengan menjaga pelaksanaan ibadah sunnah

Seseorang yang bermudah-mudahan untuk mengerjakan perbuatan yang hukumnya makruh, akan lebih mudah untuk terjerumus ke dalam perbuatan haram. Diriwayatkan dari sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, dan yang haram juga jelas. Di antara keduanya, terdapat perkara yang samar (syubhat), yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Siapa saja yang menjaga dirinya dari perkara syubhat, dia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan siapa saja yang terjerumus dalam perkara syubhat, dia telah terjerumus ke dalam perkara yang haram. Seperti seorang penggembala yang menggembalakan binatang ternaknya di sekitar tanah/daerah larangan, maka lambat laun ternak tersebut akan masuk ke dalam daerah larangan tersebut. Ketahuilah bahwa setiap raja itu memiliki area/daerah larangan. Dan ketahuilah bahwa area/daerah larangan Allah adalah perkara-perkara yang Allah haramkan. Ingatlah bahwa di dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika daging tersebut baik, maka menjadi baiklah seluruh tubuhnya. Dan jika rusak, maka rusak pula seluruh tubuhnya.” (H.R. Bukhari).

Dalam hadits di atas, seseorang yang gemar mendekati hal-hal yang Allah Ta’ala haramkan (belum sampai mengerjakannya), cepat atau lambat dia akan terjerumus ke dalamnya. Demikian pula sebaliknya. Seseorang yang bermudah-mudah untuk meninggalkan amal sunnah dan menjauh dari amal sunnah, cepat atau lambat dia akan mudah meninggalkan amal yang wajib.

Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita untuk memperhatikan amal ibadah sunnah, setelah menyempurnakan ibadah yang bersifat wajib.

 

Ditulis oleh dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.

Disarikan dari

  1. https://muslim.or.id/44192-keutamaan-menjaga-pelaksanaan-ibadah-sunnah.html
  2. https://muslim.or.id/45011-mengikuti-sunnah-lebih-utama-daripada-memperbanyak-amal.html

Dimurajaah oleh Ustaz Abu Salman, B.I.S.


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/keutamaan-amalan-sunnah/